Perempuan dan Minyak Goreng Pada Hari Perempuan

 

Oleh : Friska Audina

(Ketua KOPRI Rayon Beriun EKIS)

Selamat hari perempuan sedunia. Hari ini tepat pada 115 tahun yang lalu, atau  8 Maret 1907, pergerakan kaum perempuan untuk menjadi manusia merdeka menemukan momentumnya. Sebanyak 15 ribu buruh perempuan bergerak dikota New York untuk menuntut perlakuan setara, hak berpendapat, hak politik dan hak lainnya sebagaimana yang didapat kaum pria. Meskipun banyak versi sejarah menyoal ide awal tercetusnya Hari Perempuan Sedunia atau International Woman Day (IWD), tuntutannya tetap sama, perempuan merdeka dari kapitalisme patriarki.

 Meski ide awal IWD sudah dimulai lebih dari 1 abad silam, persoalan yang dihadapi kaum perempuan rasa-rasanya masih cukup serius. Di Indonesia misalnya, perjuangan masyarakat sipil untuk mendorong pengesahan RUU PKS oleh negara, masih menemui jalan buntu. Terbaru, tepat pada peringatan IWD tahun ini, perempuan Indonesia juga harus menghadapi belenggu lain, kelangkaan minyak goreng.

Mengapa perempuan yang jadi korban kelangkaan minyak goreng? Bagaimana tidak, pasalnya perempuan banyak menghabiskan kesehariannya dalam pemenuhan kebutuhan pokok terutama pangan, lekat dengan situasi ini. Harga minyak yang mahal membuat para perempuan di beberapa daerah kesusahan untuk mengimbangi pasokan antara bahan komoditas satu dengan yang lainnya.

Atau jawaban cukup kongkrit lainnya, bahwa di Indonesia beban kerja domestik, semisal mencuci, menjemur, menyapu, mengasuh anak, memasak, belanja kebutuhan harian dominan diserahkan kepada perempuan. Termasuk membeli minyak goreng. Itulah mengapa dalam banyak pemandangan antrian minyak goreng, perempuanlah yang mendominasi. Bangun pagi-pagi, mengurus anak dan suami, lalu berangkat sedini mungkin untuk ngantri, tidak peduli soal terik matahari.

Maraknya kasus kelangkaan minyak goreng dalam negeri, selain menyita perhatian berbagai pihak, secara paralel juga mengorbankan kaum perempuan. Bagaimana tidak demikian, pasalnya minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting di dapur dan dikonsumsi setiap harinya. Minyak goreng juga diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan rasa dari makanan yang disajikan, kelezatan tumisan tidak akan tercipta tanpa minyak goreng bukan? Begitupun dengan jenis makanan yang lain. Saya pikir, sangat sulit menyajikan makanan enak tanpa kehadiran minyak.

Kita paham bukan, bahwa soal enak dan tidaknya makanan di negri ini selalu dibebankan kepada perempuan? Perempuanlah yang harus bisa memasak enak, perempuan belum dianggap sempurna kalau belum bisa memasak enak. Ya, kelangkaan minyak goreng hari ini yang berpotensi membuat makanan jadi tidak enak,  juga berpotensi menambah beban berat yang selama ini ditanggung oleh perempuan Indonesia.

 Minyak goreng di kapitalisasi

Kapitalisme selalu saja mengorbankan kelompok marjinal, termasuk perempuan. Dalam kasus kelangkaan minyak goreng juga demikian. Pasalnya kelangkaan minyak goreng di 34 provinsi akhir akhir ini disebabkan oleh distributor minyak goreng lebih memilih menjual produknya ke industri skala besar meliputi pasar-pasar modern seperti indomaret, hypermart dan pasar pasar swalayan berskala besar lainnya, dengan alasan industri-industri tersebut mampu membeli dengan harga bayar yang tinggi ketimbang menjual produk mereka ke lapisan perdagangan tradisional. Akibat hal tersebut, para pedagang tradisional terpaksa memasok minyak goreng melalui ritel modern dan hal ini berakibat pada  penjualan minyak goreng diatas HET.

Sebelumnya, anjloknya produksi minyak nabati dipasaran internasional, dimanfaatkan dengan cerdik oleh pengusaha dalam negri untuk ikut menaikkan harga. Padahal produksi kelapa sawit (yang jadi bahan baku minyak goreng) Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Pengusaha minyak goreng akhirnya berhasil mendorong negara untuk memberi subsidi APBN atas produk mereka ini.  Padahal hutan Indonesia sudah berjuta dikorbankan untuk pengusaha sawit .      

Akhirnya, dalam kasus langkanya minyak goreng kapitalisme menang lagi, perempuan tertindas lagi. Oleh karenanya, pada momentum IWD kali ini, perempuan harus menuntut kemerdekaannya lagi. Setidaknya, merdeka dari minyak goreng. Merdeka !

1 Komentar