Gagapnya Kontestan Pilkada Melihat Masalah Prostitusi di Kutai Timur

Oleh : Fauziah Handayani

(Ketua KOPRI Rayon Beriun EKIS STAI Sangatta)


pmiikutim.or.id,- Beberapa pekan lalu, debat calon kontestan Pilkada Kutai Timur yang digelar oleh KPU mengangkat beragam isu daerah. salah satu isu menarik dan kontroversi yang diangkat adalah maraknya layanan jasa Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kabupaten ini. Penanaganan yang buruk terhadap layanan jasa ini disinyalir menyumbang tingginya angka pengidap HIV/AIDS di Kutai Timur. Disebutkan ada 393 warga Kutai Timur yang tercatat sebagai pengidap HIV/AIDS termasuk ibu hamil dan balita.

Sayangnya sampai satu hari sebelum pencoblosan di TPS pun, diskursus publik menyoal pandangan para kontestan dalam debat Pilkada soal PSK dan lokalisasi terpantau sepi. Paslon yang tidak hadir dalam debat itupun diam-diam saja. Bisa jadi perdebatan atas problem ini tertutup oleh perdebatan isu konvensional lain seperti ekonomi dan infrastruktur, atau mungkin juga karena paradigma publik menyoal PSK yang tidak rigid.

Setiaknya ada dua poin yang diajukan kontestan dalam penyelesaian masalah PSK ini. Pertama, melegalkan lokalisasi yang ditempatkan jauh dari permukiman agar tidak berdampak negatif bagi masyarakat dan mempermudah kontrol medis atas penyakit seksual menular. Ide ini diajukan oleh Calon Wakil Bupati Lulu Kinsu. Kedua, memberikan edukasi kepublik soal penangan HIV/AIDS sekaligus menolak ide lokalisasi. Ini menurut Calon Wakil Bupati Kasmidi Bulang.

Terlepas dari perlu atau tidaknya solusi diatas, dua pandangan kontestan Pilkada Kutai Timur tersebut sesungguhnya terlalu abstrak, lupa dan abai terhadap akar masalah. Bahkan pandangan kontestan tersebut cenderung memperkuat laku dan prespektif diskriminatif masyarakat atas PSK. Mereka yang tubuhnya terjual (terpaksa dijual) semakin dianggap sebagai sampah masyarakat, manusia biadab, barang bekas, kotor, busuk, menjijikkan dan hanya pantas diletakkan di tempat sampah. Tidak jarang anggapan ini berujung mendiskreditkan hak-hak sipil dan humanitas para PSK. Negara absen.

Sudah umum dalam kajian gender, wanita sering terdiskriminasi dalam sistem sosial. Ia selalu diposisikan sebagai objek, bukan subjek. Para kontestan Pilkada Kutim melihat PSK juga demikian, PSK diposisikan sebagai sumber kehancuran moral sehingga ia harus ditempatkan jauh dari pemukiman, dan Ia adalah sumber penyakit sosial dan HIV sehingga masyarakat yang beritraksi dengannya harus diedukasi.

Yang menjadi pertanyaan adalah, betulkah perempuan yang bekerja sebagai PSK itu menikmati pekerjaanya? Apakah para perempuan memang mau bekerja sebagai PSK? Sudah pasti jawabannya adalah “TIDAK”. Semua perempuan tidak ingin mengadaikan kehormatannya. Setiap perempuan ingin hidup mereka terhormat dan juga hidup layak dalam sebuah keluarga yang normal. Ya, pada dasarnya tidak akan ada perempuan manapun yang ingin berprofesi sebagai PSK. Bagi mereka profesi tersebut adalah pilihan logis terakhir untuk melangsungkan hidup.

Itu berarti, mereka adalah korban, bukan sumber penyakit. Mereka adalah subjek yang di objektifikasi oleh sistem negara dan budaya patriarki.

Disini, para calon gagal melihat. Gagal melihat bahwa profesi PSK bukanlah kehendak, melainkan desakan sistem. Seorang wanita memutuskan menjadi PSK bukan hanya karena adanya permintaan pasar,tapi atas keputusan rasional dari desakan situasi cengkraman hidup yang tidak berpihak kepada perempuan.

Kebutuhan hidup yang semakin mencekik, sulitnya akses permodalan dan minimnya kesempatan dalam dunia kerja, adalah beberapa faktor yang membuat perempuan rela berbuat apa saja demi memberi nafkah keluarganya atau bahkan menyekolahkan anaknya. Belum lagi, bisa saja (dan sering terjadi) banyak diantara mereka adalah korban human trafficking jebakan para mafia PSK, Mucikari dan premannya.

Kalau para kontestan Pilkada bisa menyadari ini, seharusnya mereka mengajukan program jaminan perlindungan hukum dan rehabilitasi penuh untuk perempuan yang ingin berhenti didunia prostitusi.

Selanjutnya, sebagai bentuk pemberdayaan, para kontestan Pilkada bila nantinya terpilih perlu membekali mereka modal usaha, pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola usaha sendiri. Hal tersebut akan membuat para eks PSK mandiri, mempunyai penghasilan tanpa harus menjajakan diri. Ingatlah wahai calon pemimpin Kutim, para PSK itu, mereka juga manusia, sama seperti dirimu.

Menjadi perempuan penghibur tentu bukanlah pekerjaan yang terhormat dalam tatanan nilai masyarakat. Tetapi sangat tidak pantas jika pemerintah membuat mereka semakin terpojok. Bukankah mereka adalah buah dari gagalnya negara mengemban amanat Pancasila, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Sekali lagi, masalah prostitusi, tidak bisa hanya dilihat dari aspek moral, agama, dan kesehatan reproduksi saja, tetapi harus dipandang dari lanskap yang lebih luas, kesejahteraan, hukum dan kemanusiaan.

Kalau kita berani menjustifikasi bahwa orang yang beragama non-Islam itu masuk neraka, atau seorang pencuri itu tak akan masuk surga, maka berarti kita telah berani memegang jabatan Tuhan, sebab hanya Tuhanlah yang berhak kemana tiap-tiap orang itu ditempatkan. Begitu juga terhadap seorang pelacur, menghakimi mereka adalah tugas Tuhan, tugas kita hanyalah memanusiakan.

0 Komentar