Politik Kemanusiaan dan Euforia Pilkada

Oleh : Khoerul Annam

(Kader PMII Kutai Timur) 

Desember mendatang, 261 kabupaten/kota dan 9 Provinsi di Indonesia akan menyelenggarakan hajatan besar Pilkada serentak. Ajang pesta demokrasi yang mengikut sertakan rakyat sebagai penentu siapa yang akan menjadi kepala daerah nantinya. Dari yang kelas menengah ke bawah hingga elite, semua punya hak atas suara untuk memberi dukungan kontestan didaerahnya masing-masing.

Mengingat helatan Pilkada yang akan dilaksanakan ditengah-tengah pandemi covid-19 tidak elak hal ini menimbulkan pro-kontra dari berbagai pihak. Ada yang mendukung dan tak sedikit juga yang menolak. Dua ormas Islam terbersar di Indonesia, NU dan Muhammadiayh berada dibarisan penolak rencana Pilkada ditengah wabah. Namun sepertinya aroma dari Istana dan para penguasa senayan sudah bersepakat meng-amini agar Pilkada tetap diselenggarakan sesuai jadwal.

Atasan sudah memberi mandat, maka bawahan otomatis akan meng-iyakan. Semua aturan penanganan dan prosedur khususnya dalam menangani penyebaran covid dirumuskan. Segala protokol dan sarana prasarana disiapkan. Bahkan beberapa daerah sudah memulai simulasi Pemilukada dengan protokol kesehatan yang ketat. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah semua itu bisa menjamin sepenuhnya keselamatan rakyat sebagai pemilih? semoga saja demikian.

Berbicara Pilkada tentu erat kaitannya dengan politik dan para politisi. Lantas, apa sebenarnya makna politik selain membahas perebutan kekuasaan dan kontestasi yang melibatkan rakyat dalam sebuah negara. Memotret pandangan seorang filusuf Yunani yang banyak mengilhami praktek politik modern, Plato pada 5 abad SM telah membuat sebuah rumusan tentang keadilan (justice) dalam negara ideal (idea state). Menurutnya negara ideal yaitu Negara yang menjunjung tinggi keadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya. Salah satu ciri negara ideal menurut Plato adalah melayani kebutuhan dasar manusia dalam rangka membangun kualitas kemanusiaan.

Praktik politik kemanusiaan ini, pernah Gusdur contohkan kepada semua. Betapa kesatria beliau ketika membela kaum minoritas tionghoa dan penganut kepercayaan yang tertindas. Ia juga menjadi presiden pertama yang berhasil membangun pendekatan dialogis dengan pemberontak OPM yang menuntut merdeka dari Indonesia, sebuah konflik yang tidak pernah selesai sejak zaman Soekarno. Semua kebijakan diatas adalah produk politik negara yang berangkat atas nama kemanusiaan.

Berkaca dari pendapat Plato dan teladan Gusdur diatas, mari kita korelasikan dengan kebijakan penguasa terkait Pilkada yang akan diselenggarakan ditengah ancaman pandemi Covid-19. Produk politik, dalam hal ini Pilkada, seharusnya mengutamakan asas kemanusiaan dalam memenuhi kewajiban yang sangat mendasar yakni mempertahankan nyawa. Hasil pilkada seharusnya tidak jauh lebih penting ketimbang melindungi segenap tumpah dara manusia Indonesia. Namun, Ini menjadi tertolak ketika melihat fakta bahwa pemerintah tetap ngotot melanjutkan Pilkada. Lantas, Pilkada ini sebenarnya untuk siapa? Untuk kemaslahatan seluruh rakyat, atau hanya untuk memenuhi kepentingan petinggi partai politik dan para sponsor kapitalisme?

Menarik konteks ke daerah Kutai Timur, semarak kontestasi pemilukada sudah dirasakan publik sampai kepelosok desa. Papan reklame dan spanduk ber-isikan gambar paslon ukuran raksasa sudah bisa dilihat dijalan-jalan. Rakyat mulai disuguhi konten dari tim sukses masing-masing kontestan. Lobi-lobi kepada tokoh masyarakat dan orang-orang yang dianggap memiliki massa makin massif dilakukan.

Semua kontestan membawa visi misi yang paripurna seakan tanpa celah dengan tema yang relativ sama , yakni memakmurkan, mensejahterahkan, membangun dan memajukan daerah Kutai Timur. Semua memoles diri bak malaikat yang menawarkan kehidupan surga setelah Pilkada. Sebuah pemandangan yang selalu terulang pada penyelenggaran Pilkada setiap tahunnya. Dapat disimpulkan, Kutai Timur baik penyelenggara terlebih kontestan telah jauh bersiap menyambut Pilkada serentak ini.

Kini bola panas Pilkada ada ditangan rakyat Kutai Timur. Selain ancaman pandemi, publik juga harus berhadapan dengan fakta bahwa Pilkada hanyalah ajang bersolek para politisi. Kekecewaan dan pengabaian terhadap nasib masyarakat kecil adalah sesuatu yang rutin dirasakan. Belum lagi gemarnya para birokrat dan politisi menyalahkan wewenang bahkan terciduk korupsi.

Disinilah pentingnya masyarakat Kutai Timur memahami politik kemanusiaan pada Pilkada ini. Politik yang berpihak kepada kaum papah, miskin, tertinggal, kaum mustad’afin. Bukan hanya berbicara investasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkadang mengorbankan masyarakat adat dan suku pedalaman. Masyarakat harus dapat menganalisa dengan kritis proses dan konten Pilkada. Agar kebijakan-kebijakan yang lahir nantinya, betul-betul berangkat dari kepentingan kemaslahatan rakyat.

Artinya kebijakan politik yang manusiawi adalah ketika kebijakan itu dibuat atas dasar kajian mendalam dan komprehensif mengenai kondisi seluruh masyarakat yang mendiami Kutai Timur. Baik dipusat kota, maupun mereka yang hidup ditengah hutan belantara.

0 Komentar