pmiikutim.or.id-Tantangan hidup perempuan di negri ini sepertinya masih cukup berat. Menguatnya
budaya patriarki dalam berbagai dimensi kehidupan publik membuat perempuan terus
terpojokan. Patriarki
adalah sebuah sistem sosial yang menetapkan laki-laki sebagai sosok otoritas
utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial,budaya dan ekonomi. Dalam konteks distribusi kekuasaan antara laki-laki
dan perempuan, budaya patriarki menempatkan laki-laki
memiliki keunggulan dalam satu atau segala aspek ketimbang perempuan. Patriarki membuat sistem
sosial hubungan gender yang didalamnya terdapat ketidak setaraan.
Budaya ini juga memberikan
konstruksi dan pola pikir apabila laki-laki berkaitan erat dengan ego
maskulinitas yang kuat sementara femininitas perempuan sendiri diabaikan dan dianggap sebagai
sesuatu yang lemah. Singkatnya, patriarki dapat dilihat sebagai suatu produk
sosial, bukan sebagai perbedaan
bawaan dari lahir antara jenis kelamin yang lebih bersifat kodrati. Budaya ini terus berkembang, bukan hanya pada
keluarga, tapi juga dalam organisasi sosial dan ruang publik.
Masyarakat seperti
membiarkan jika ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum perempuan yang melintas
dijalan, tindakan mereka seolah-olah menjadi hal lumrah dan wajar sebab sebagai
laki-laki, mereka harus berani menghadapi (lebih tepatnya melecehkan) perempuan. Laki-laki dianggap sebagai
kaum pengoda sementara perempuan dianggap sebagai objek atau makhluk yang
pantas digoda, bahkan
dalam beberapa kasus tubuh perempuan dijadikan sebagai sebab
dari berbagai tindakan kekerasan seksual atas perempuan.
Prespektif patriarki melahirkan stereotipe perempuan sebagai objek, dimana
media berperan penting menguatkannya. Dalam media di Indonesia, stereotipe ini melekat dalam berbagai
tanyang seperti sinetron, infotainment, telewicara, hingga berita. Tayangan infotainment gencar memprogandakan
pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan. Hal lainya dalam
industri media adalah status perempuan yang baik haruslah
cantik. Jika tidak cantik, hanya akan diperankan sebagai bahan ejekan semata. Tak hanya
itu media juga memecah berbagai macam perempuan ada yang berwajah cantik vs
berwajah pas pasan, perempuan kulit putih vs perempuan kulit hitam, dan dengan
itu media menjadikan perempuan sebagai
mode fashion juara ratu-ratuan.
Media
meraup untung dengan menayangkan sinetron dan infotainment yang hanya mengubrek kehidupan pribadi. Media tumbuh hanya dengan
menyajikan sebuah sensasi yang menempatkan perempuan
sebagai objek utama.
Misalnya bagaimana
media belakangan ini meliput kasus skandal pornografi Gisel, artis kondang jebolan
Indonesia Idol. Dalam khasus ini kita bisa melihat bahwa media hanya membuat perempuan
sebagai topik utama demi mengejar
rating dan mendapatkan
keuntungan. Berbagai pemberitaan
menjadikan Gisel sebagai sorotan dan sasaran utama, disisi lain media jarang sekali menampilkan wajah lelaki yang bersamanya. Liputan
media
yang
timpang antara laki-laki
dan perempuan
dalam kasus
Gisel
mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam melihat kasus secara konprehensip. Alhasil perilaku
asusila tersebut lebih banyak disematkan pada Gisel yang perempuan.
Gisel dan banyak perempuan lainnya tidak diperlakukan
secara adil oleh media. Media mendoktrin pemirsanya bahwa perempuan adalah sumber munculnya prilaku asusila. Maka individu yang semestinya punya moral lebih
baik dan bisa menjaga martabatnya adalah perempuan, bukan laki-laki. Begitulah media
memperkuat pandangan patriarki.
Media kita jauh dari kata mendidik, bahkan cenderung
memproyersikan apa yang terjadi dimasyarakat beserta nilai-nilai yang
dianut meskipun itu sangat diskriminatif.
Sehingga, ketika msyarakat mendukung keberadaan nilai-nilai patriarki dengan
kuat maka wacana yang dominan media sosial juga merefleksikan kondisi ini.
Media harusnya menyadari bahwa prespektif patriarki sangat merugikan perempuan, yang tidak hanya berujung diskriminasi
pada perempuan tapi juga membebani perempuan. Media yang kini menempati posisi sebagai pilar keempat demokrasi perlu komitmen
dan mampu memberikan edukasi kepada pemirsanya bagaimana memposisikan perempuan
sebagai subyek yang utuh diruang publik. Tidak lebih tinggi , tapi sederajat
dan sebermartabat layaknya laki-laki.
0 Komentar