Korupsi, Refleksi dan Perspektif


Ditulis Oleh Andri Winarto (Ketua I Kaderisasi PMII Cabang Kutim)


Korupsi yang terjadi di indonesia sudah sangat menghawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan dan tatanan sosial kemasyarakatan di negri ini. Pasalnya ini membuat kita semakin terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan.

Lembaga pemantau indeks korupsi global, Tanspararency Internasional merilis laporan bertajuk “ Global Corruption Barometer – Asia” dan indonesia berada pada posisi ke tiga paling korup di asia. Bisa dipastikan bahwa indonesia masih belum bisa pulih dari kebiasaan pejabatnya yang memilih mensejahrtakan hidupnya sendiri.

Pemerintah dan politisi sebagai pelaksana tugas dari rakyat banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan jabatan sehingga menyebabkan terseok-seoknya negri ini dan masyarakat kita. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat negara telah mengalami kerugian sebesar Rp. 39,2 triliun dari praktik korupsi sepanjang semester 1 tahun 2020. Jumlah itu terhitung sangat besar jika dibandingkan dengan total denda yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdagwa yang hanya berkisar Rp. 102.985.000.000, serta uang pengganti sebesar Rp. 625.080.425.649, US$128.200.000 dan SGD2.364.315 atau sekitar Rp. 2,3 triliun.” Praktis kurang dari lima persen kerugian negara yang mampu dipulihkan melalui intrumen pasal 18 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhan, Minggu (11/10/2020). Melihat hal tersebut menunjukkan bahwa hukum kita masih kecolongan sebab ada ketidak seimbangan dalam penjatuhan hukum yaitu ketidak sesuaian dengan orientasi nilai ekonomi terhadap kerugian uang negara.

Mari kita lihat baru-baru ini oknum koruptor yang memilih untuk memelihara ketamakan demi kekayaannya sendiri. Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan mentri kelautan dan perikanan melakukan tindak pidana suap izin ekspor lobster ditangkap pada rabu (25/11/2020), berselang 10 hari pada jumat (5/12/2020) muncul kembali operasi tangkap tangan (OTT) suap dana bansos yang dilakukan oleh mentri sosial dkk. Kita masih ingat pada tahun 2018 terjadi penangkapan mentri sosial yang ditahan KPK sebab tersandung kasus suap proyek pembangaunan PLTU Riau 1, sama halnya yang dilakukan oleh mentri menpora pada kamis (9/1/2020) ditahan atas kasus suap proposal dana hibah KONI dan gratifikasi sejumlah pihak. Tak lupa pula pejabat daerah kita pun sama halnya dengan mereka.

Melihat kasus-kasus di atas sebenarnya apa yang mesti dilakukan oleh negara agar korupsi di indonesia menurun. Belajar dari negara yang tingkat korupsinya paling rendah di dunia, dirilis oleh transparency Internasional Denmark berada pada posisi terbaik Indeks persepsi korupsi (IPK) 2019. Dua hal yang menjadikan negara tersebut berada di tingkat korupsi terendah, pertama integritas penegak hukum, kedua transparan terhadap publik.

Sejauh ini apakah integritas penegak hukum dan transparasi terhadap publik kita sudah cukup baik? Saya rasa belum, penegak hukum termasuk polisi, jaksa, dan hakim ditentukan oleh dua aspek profesionalitas dan moral. Tak cukup hanya memiliki integritas profesional apabila penegak hukum tak bermoral, begitupun sebaliknya. Yang paling ideal adalah penegak hukum yang memiliki integritas profesional dan sekaligus juga memiliki integritas moral. Tapi banyak penegak hukum belum memiliki integritas yang ideal seperti itu. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan sehingga para penegak hukum sering melanggar hukum? ada sebuah ungkapan dari ahli hukum Amerika yang mengatakan berikan kepada kami hakim, jaksa, pengacara, dan polisi yang baik, dengan perangkat hukum yang buruk pun, putusannya diharapkan akan bisa baik dan adil. Tapi, meskipun hukumnya baik, kalau mereka yang menjalankan itu tidak baik, itu yang celaka. Sebenarnya negara sudah menyediakan perangkat yang cukup. Kendati demikian, integritas manusianya itulah yang memang harus diperbaiki.

Bagaimana dengan transparasi terhadap publik saya katakan kembali belum, sekertaris Jendral Transparacy Internasional indonesia dadang trisasongko mengatakan, transparasi pada sektor penegak hukum masih lemah. Ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang semestinya diketahui oleh publik, namun hal itu tidak di publis. Secara tidak langsung hal tersebut menunjukan bentuk pesimisme publik terhadap penegak hukum akibat proses penegak hukum yang lemah.

Permasalahan korupsi di indonesia sudah sampai pada taraf menimbulkan skeptisme semua kalangan. Hal ini menimbulkan keresahan yang sangat mendalam, melihat realita tersebut timbul public judgement bahwa korupsi adalah manifestasi budaya bangsa. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat.

Korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (xstra ordinary crime) yang oleh karenanya itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Oleh karna itu setidaknya ada beberapa prespektif yang mesti di kenali dan dipahami untuk kita pelajari dalam upaya pencegahan korupsi.

1. Prespektif hukum memandang bahwa korupsi merupakan kejahatan (crime), koruptor adalah penjahat dan oleh karnanya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menindak para koruptor dengan jerat-jerat hukum serta memberantas korupsi dengan memperkuat perangkat hukum seperti undang-undang dan aparat hukum kalau perlu miskinkan koruptor dengan aturan hukum. Namun aturan terkait korupsi kerap berubah-ubah, juga karena partai politik menjalankan sistem mahar politik. Sehingga ini membuat lemahnya penegakan hukum di tanah air.

2. Prespektif politik memandang bahwa korupsi cenderung terjadi di ranah politik, khususnya korupsi besar (Grand corruption) dilakukan oleh para politisi yang menyalahgunakan kekuasaan mereka dalam birokrasi. Permainan klasik dalam politik, modal mahal harus balik modal, tidak ada makan siang gratis (no free lunch).

3. Prespektif sosiologi memandang bahwa korupsi adalah sebuah masalah sosial, masalah institusional dan masalah struktural. Korupsi terjadi di semua sektor dan dilakukan oleh sebagaian besar lapisan masyarakat, maka dianggap penyakit sosial.

4. Prespektif agama memandang bahwa korupsi terjadi sebagai dampak dari lemahnya nilai-nilai agama dalam diri individu dan oleh karenanya upaya yang harus dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dan individu dan masyarakat untuk mencegah tindak korupsi (petty corruption), apalagi korupsi besar (grand corruption).

Seyogianya 4 prespektif ini bisa menjadi dasar pengetahuan kita untuk selalu menjaga agar supaya terhindar dari kejahatan yang tak berkemanusiaan ini. Apalagi dalam keadaan bencana wabah yang tak kunjung usai kapan akan berahir.

0 Komentar