pmiikutim.or.id- 17 april,
adalah bukan tanggal biasa khususnya bagi kita yang tergabung dalam Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia. Hari ini, tepat 58 tahun yang lalu, organisasi
kemahasiswaan dan keislaman ini dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur. Dengan semagat
memegang teguh Ideologi Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, sejarah mencatat PMII
sebagai organisasi kaum santri yang tegas mengutarakan keberpihakannya kepada
kaum Mustad’afin. PMII dengan berbagai corak model geraknya, berhasil melewati fase kebangsaan mulai dari Orde
Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi dengan tetap pada cita-cita awal berdirinya,
melahirkan pribadi muslim yang bertaqwa untuk memperjuangkan cita-cita bangsa.
Jaga soliditas Struktural, PMII Kutim kedepankan asas Musyawarah Berekeadilan |
Lepas dari
panjangnya perjalanan PMII dalam lika-liku negri Indonesia tercinta, kini kita
telah sampai pada era yang begitu jauh berbeda dengan hari kelahiran awalanya.
Era dimana Negara tidak lagi mengenal batas teritorinya, era yang membuat
generasi bangsa buram memandang identitasnya, era dimana apatisme, hedoneisme, pragmatisme
menjadi hal yang sangat lumrah dikalangan generasi bangsa tak terkecuali
dikalangan Mahasiswa. Belum lagi, fakta bahwa dunia ini semakin menuju kearah
persaingan global tidak sehat yang berpotensi terwujudnya perang dunia gaya
baru, yang apablia generasi bangsa ini tidak memiliki bekal yang cukup untuk
menghadiapinya, bukan tidak mungkin bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
antah berantah. Disinilah PMII sebagai
wadah Mahasiswa Intelektual (yang tidak diragukan lagi rasa kebangsaannya) diharapkan
melek untuk menghadapi era yang semakin kompleks masalahnya ini. PMII diharapkan bisa berkonsentrasi menyiapkan generasi bangsa yang unggul, tangguh dan progresif
dalam menghadapi zaman yang penuh sandiwara ini.
Secara struktural,
dalam tempo setengah abad, keberadaan PMII semakin dapat diterima oleh bangsa
ini. Fakta ini bisa dilihat bahwa pengurus PMII kini telah hadir diseluruh
provinsi di Indonesia dengan lebih dari 260 cabang di kabupaten kota, yang
tidak salah bila dikatakan bahwa hari ini PMII kini menjadi organisasi kemahasiswaan terbesar
yang ada di Indonesia. Kekuatan struktur PMII ini, membuat harapan bangsa untuk
menggantungkan sebagian cita-citanya tentunya semakin besar.
Namun, mencermati
beberapa perkembangan PMII belakangan ini, apa yang diharapkan semakin menjauh dari
pelupuk mata. Bukannya mengambil posisi dalam barisan melawan penjajahan gaya baru,
PMII justru cenderung menjadi penjajah untuk sesama saudara dan sahabat
karibnya, dan bisa diartikan juga pembaiaran terhadap kaum mustad’afin adalah
penjajahan. Apa maksudnya? Ya, diusianya yang ke 58 ini, PMII secara umum dihadapkan
dengan lahirnya generasi serakah dan haus kekuasaan di tubuh organisasinya. Tidak
sedikit para pimpinan gerakan PMII baik ditingkat pusat sampai daerah terbuai
oleh nikmat kekuasaan bergaya elit, berkoalisi dengan politisi busuk, dengan
berbgai alas an pembenaran yang dicari-cari.
Para
pemimpin gerakan PMII yang sudah sangat jelas menggadaikan asas independensi
organisasi ini, akhirnya secara structural melahirkan kebijakan organisasi yang
tidak jarang menimbulkan kontroversi dan bahkan permusuhan antar kader. Yang paling
lazim muncul diberanda media kita adalah perebutan
kepemipinan ditubuh PMII. Tidak sedikit kepengurusan PMII yang terpecah
akibat compang-camping kebijakan yang
lahir dari kepengurusan PMII ditingkat yang lebih atas. Tidak sedikit pengurus
PMII dikabupaten/kota seluruh Indonesia yang mengalami dualisme yang sampai hari ini
tidak selasai. Kebijakan yang miring ini tidak lain sebagai strategi untuk
memenangkan pihak-pihak tertentu yang cenderung tidak adil bagi kader-kader
lainnya. Mis administrasi selalu saja menjadi alat untuk menjatuhkan yang satu,
sedangkan tidak dengan yang lainnya. Belum lagi, perebutan kepemimpinan ini
dibumbui dengan gaya mahar-maharan, yang membuat PMII seakan berubah dari
organisasi kaderisasi menjadi organisasi politik. Selain itu, PMII juga kini
mencoba mengadopsi gaya politik militerisme orde baru dalam perebutan
kepemimpinannya, contoh rillnya adalah Kongres ke XVII PMII di Palu 2017
kemarin, gagasan intelektual yang harusnya bisa dimunculkan, justru tenggelam
akibat para pimpinan organisasi ini bersembunyi dibalik keukatan militer yang
mereka hadirkan.
Akibatnya,
banyak kader PMII menjadi korban ketidakadilan yang merawat kekecewaan dan ujung-ujungnya
menimbulkan sentiment antar basis anggota digaris bawah. Kerja-kerja ideologis
progsesif akhirnya terabaikan, karena para pentolan kader sibuk dengan konflik
antar sesama warga pergerakan, kesatuan gerak sulit terwujudkan, dan ironinya
problem-probem rakyat ikut terabaikan. Sementara dilain sisi, zaman terus
berkembang pesat meninggalkan generasi-generasi kolot yang lalai akibat
pertikaian.
Jika sudah
demikian, PMII benar-benar berada dalam masa kritisnya. Kendati secara kekuatan
ideologis PMII tidak mudah digiring, tapi kekuatan structural yang rapuh,
pastinya ikut merapuhkan barisan gerakan yang sudah dibangun dibasis ideologis.
Hal ini selaran dengan penyataan Sayyidina Ali ra., kebaikan yang tidak
terorganisir, akan kalah dengan keburukan yang terorganisir.
Di Usianya
yang ke-58 ini, baiknya digunakan sebagai momentum evaluasi gerakan oleh kader
PMII dari Sabang sampai Marauke, baik dalam pola kaderisasinya maupun gaya
kepemimpinan ditingkat struktunya. Jika terus dibiarkan, kita akan melihat
kerapuhan struktural ini akan membawa PMII pada Kuburannya. Mari berharap saya
salah. Selamat Harlah PMII ke-58.
(Ditulis
Oleh : Zulkadrin, Sekretaris Umum PMII Cabang Kutai Timur)
0 Komentar