pmiikutim.or.id,- Jum’at, 12 Oktober 2018 bukan hari yang biasa bagi
warga Kutai Timur. Tepat 19 tahun lalu, kabupaten yang terkenal dengan emas
hitamnya ini resmi menjadi satu daerah otonom dari sekian banyak daerah lainnya
diseluruh Indonesia pasca kejatuhan Orde
Baru dibawah pimpinan soeharto.
Riuh
sambutan atas hari lahir tersebut, begitu meriah diperingati setiap tahunnya di
Ibu Kota Kabupaten ini, Sangatta. Ini bisa terlihat juga pada beberapa hari
terakhir ini. Tak ayal berbagai event
digelar oleh pemerintah Kabupaten, mulai dari jalan santai dihiasi dengan
bagi-bagi hadiah, gelaran panggung-pagung bernyanyi dengan artis-artis ternama,
sampai pada pamer-pamer keberhasilan pembangunan oleh perangkat-perangkat
daerah. Sangat meriah.
Namun,
ada yang berbeda pada peringatan hari lahir Kutai Timur yang ke-19 kali ini. Tak mau ketinggalan, elemen
Mahasiswa yang menjadi tumpuan harapan masa depan Kutai Timur bergerak membuat
perayaanya sendiri. Dibawah bendera yang berbeda-beda seperti, Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dibawah pimpinan Abdul Manab, Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pimpinan Khaerudin, Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) pimpinan Nasir Alimudin, BEM STAIS , BEM STIPER, BEM STIE Nusantara
dan Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) serta elemen mahasiswa lainnya, bersatu membentuk gerakan tandingan memperingati
hari lahir Kutai Timur dengan Aksi Long March.
Dengan
penuh keiklashan, mereka berjalan dengan mengempanyekan berbagai masalah yang terabaikan dalam perjalan pembangunan
Kutai Timur di usia yang semakin menua dari Simpang Tiga Jl. Pendidikan sampai
Bundaran Patung Singa Sangatta. Kualitas
pendidikan yang minimalis, buruh yang rendah upahnya, tenaga honorer yang
terabaikan haknya, manajemen tata ruang daerah yang tak jelas konsepnya,
konflik agrarian antara pengusaha dengan rakyat jelata yang tak ada ujungnya,
adalah sekelumit keresahan mahasiswa yang
disuarakan dalam aksi jalan kaki tersebut. Belum lagi tata kelola birokrasi
yang terkesan penuh intrik, penyandraan suara mahasiswa atas nama pendidikan
gratis, dan transparansi pengelolaan keuangan daerah yang berlindung dibalik
diksi defisit, tak luput dari orasi kritis mereka.
Memang,
gerakan ini ditujukan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Kutai Timur
atas realitas perjalan daerah yang usianya menganjak dewasa. Masyarakat
diharapkan dapat melihat secara utuh apa yang terjadi didaerah super kaya ini.
Kutai Timur yang luasnya melebihi Provinsi Jawa Timur ini, seyogyanya punya
masa depan yang cerah atas kekayaan sumber daya alamnya, andai saja bisa
dikelola dengan baik dan bersahabat. Dengan kehadiran perusahaan tambang batu
bara terbesar didunia dikabupaten ini dan pendapatan dari dana bagi hasil
terbesar ketiga di Indonesia, Seharusnya
tidak ada demonstrasi tenaga honorer daerah karena tak dibayar haknya, Tenaga
medis bisa fokus mengobati masyarakat yang sakit, Dosen dan Guru bisa
konsentrasi mencerdaskan anak bangsa dan
buruh bisa meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Melalui
gerakan ini, harapannya masyarakat disadarkan bahwa pembangunan Kutai Timur
tidak bisa diwakilkan dengan indahnya Taman Bukit Pelangi saja, apalagi
dipamerkan sebagai keberhasilan yang gambar jalan mulusnya dicitrakan sebagai
suatu yang amat membanggakan. Karena faktanya itu bukanlah Kutai Timur
seutuhnya. Jalan-jalan penuh lubang masih banyak berserakan dengan bercak
beceknya, baik gang-gang dijalan kota terlebih jalan penghubung antar kecamatan,
dan berbagai fakta kegagalan-kegagalan elit daerah dalam mengolah kekayaan
daerah yang melimpah.
Pasalnya,
harapan perbaikan Kutai Timur akan terus dirawat oleh anak-anak muda ini dengan
cara menolak tunduk terhadap rezim. Kritik akan selalu digaungkan untuk perbaikan
daerah dimasa depan. Gerakan Long March ini adalah awal yang tiada akhir, masih
akan terus berlanjut, setidaknya dalam panggung ekspresi yang akan digelar
Minggu malam 14 Oktober 2018 nanti di Taman Bersemi STQ. Selamat Ulang Tahun
Kutai Timur, Pastikan kamu bergerak. (Drin)
0 Komentar