pmiikutim.or.id,-Pandemi Covid-19 memaksa
masyarakat dunia mendefinisikan makna hidup, penyebaran virus corona (Covid-19)
yang semakin hari semakin meningkat menjadi krisis besar manusia modern,
memaksa kita untuk sejenak melihat kembali kehidupan, keluarga, dan lingkungan
sosial dalam arti yang sebenarnya. Manusia di paksa berhenti dari rutinitasnya,
untuk memaknai hidup yang sebenarnya.
Saya lebih terfokus pada kebijakan Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat ( PPKM ). Baru baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan
PPKM. Terhitung sejak tanggal 3 Juli,yang awalnya hanya diterapkan di daerah
Jawa dan Bali saja tetapi di ikut oleh beberapa daerah seperti di Kalimantan
tentunya. Saya pikir pemerintah telah kehabisan akal untuk meminimalisir
penyebaran Covid-19 agar tidak makin meluas. Meski telah dilakukan
vaksinasi,PSBB,dan memberlakukan PPKM micro hingga PPKM darurat,namun
penyebaran Covid-19 tak kunjung teratasi. Ekspansi penyebaran Covid-19 ternyata
lebih gesit ketimbang kemampuan kita untuk vaksinasi.
Beberapa hari terakhir,kasus Covid-19 melonjak hingga angka 30
Ribu lebih. Per 11 juli 2021, paling tidak terdapat 36.197 kasus harian positif
Covid-19 sehingga total jumlah korban sudah mencapai 2.527.203 kasus.Vaksinasi,
yang ditargetkan bisa mencapai 181.554.465 orang, hingga 10 Juli 2021 lalu,
tercatat baru 14.969.330 orang yang telah menerima vaksinasi kedua, dan
sebanyak 36.193.076 menerima vaksinasi pertama. Alih-alih mencapai taraf
terbentuknya herd immunity, di Indonesia yang terjadi ialah jumlah korban covid-19
masih tinggi. Sementara itu, masyarakat sendiri ada indikasi makin sulit
dikendalikan dan bahkan ada sebagian masyarakat yang enggan mematuhi protokol
kesehatan dengan baik. Apa sebetulnya yang membuat sebagian masyarakat enggan
melakukan protocol kesehatan ?.
Resistansi masyarakat. Meski masih bersifat kasuistis,
disejumlah daerah kita tidak menutup mata adanya kasus penolakan sebagian
masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat. Di sangatta, Bontang, Samarinda,
Balikpapan, dan kota kota lain. Seperti diberitakan di media massa dan media
sosial, sebagian masyarakat melakukan penolakan dan perlawanan ketika hendak
ditertibkan petugas. Intinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa
masyarakat bersikap resistan.
Di media sosial tidak sekali dua kali beredar video atau
berita tentang pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pejabat dan
anggota satgas covid-19. Ada aparat yang menjadi keparat ,menutup paksa warung
makan dengan cara yang tidak manusiawi sekali. Petugas satgas tidak konsisten
dengan tugasnya, contohnya penyekatan di beberapa daerah yang tidak terealisasi
dengan baik. Pembatasan hanya ada di jam malam,apakah corona tidak ada di pagi
dan siang hari ?. Masjid di batasi,tetapi tempat judi dan tempat hiburan malam
seperti PUB masih di buka,saya pikir ini tidak adil. Sasaran dari satgas selalu
ke warung makan dan kedai kopi. Entahlah pemerintah memikirkan nasib mereka
atau tidak.
Titik kritis. Dengan tidak dimilikinya daya dukung ekonomi
yang cukup, tentu wajar jika masyarakat tidak mungkin mau tetap berdiam diri di
rumah tanpa sumber pemasukan yang cukup.Korban pandemi covid-19 selama ini
telah menembus dan melewati batas kelas sosial masyarakat. Artinya, masyarakat
yang menjadi korban tidak hanya kelas masyarakat miskin, tetapi juga kelas menengah
yang kehilangan pekerjaan dan usaha. Mereka semua niscaya membutuhkan uluran
tangan pemerintah. Jangan sampai terjadi, akibat kurangnya dana yang dimiliki
pemerintah, justru masyarakat yang diminta untuk menahan diri dan ikut
berpartisipasi mematuhi protokol kesehatan dengan mengabaikan kondisi ekonomi
keluarga mereka yang sudah di titik nadir.(MT)
0 Komentar