Demonstrasi dan Kekerasan

Oleh : Dwi Winarno

(Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII 2011-2013)


Saat kelas 3 SMA, saya sudah sering berunjuk rasa. Kala itu, tidak ada larangan dari polisi bahwa anak sekolah tidak boleh ikut serta. Tidak juga ada ancaman dari Dinas Pendidikan bakal dikeluarkan dari sekolah jika ketahuan dan disanksi hanya boleh ikut paket C. Saya organisir sekolah-sekolah. Sempat pula naksir seorang siswi dari sekolah lain. Peristiwa itu terjadi ketika Gus Dur menjabat Presiden.

Saat kuliah di Jakarta, ada organ pelajar macam Aliansi Pelajar Indonesia dan sejenisnya. Saya juga terlibat mengorganisir pelajar yang fokus pada gerakan anti-globalisasi. Ini terjadi pada saat Megawati menjadi Presiden. Juga tidak ada ancaman dari instansi apapun. Semua baik-baik saja bagi iklim demokrasi.

Sebagai peserta aksi berseragam putih dan abu-abu, sering saya berorasi, berdebat dengan anggota DPRD, atau kadang beradu pandang dengan polisi kala berhadap-hadapan. Di satu momen aksi, tiba-tiba rekan saya yang mahasiswa memecahkan kaca jendela kantor walikota. Saya gusar, lalu saya tanya mengapa hal itu dilakukan. “Kalau tidak begitu, kita tidak akan diperhatiin,” ujarnya tanpa banyak teori akademik.

Betul saja, karena dipicu oleh tindakan itu pula, ibu walikota berniat menyambangi sekretariat hanya untuk berdialog. Dialog terjadi, namun di luar, dan tuntutan-tuntutan aksi dipenuhi.

Tentu tulisan ini bukan bermaksud membenarkan bahwa kita perlu melakukan pengrusakan untuk mendapatkan perhatian. Ada banyak taktik yang lebih baik. Bergantung situasi lapangan.

Di Jakarta, pada tahun 1998, Front Kota pecah menjadi Famred karena perbedaan taktik antar pentolannya. Famred menghendaki taktik protes ala Mahatma Gandhi. Bahasa kerennya, active non-violence. Front Kota sebaliknya, melawan jika diserang oleh aparat. Keduanya tercatat dalam sejarah gerakan mahasiswa selama proses transisi demokrasi. Tidak ada yang menuduh Front Kota pada saat itu disusupi kelompok anarko.

Aksi penolakan R(UU) Cipta Kerja dua hari lalu juga terjadi huru-hara. Banyak yang mengutuk, tidak pula sedikit yang membela. Konyolnya, ada yang mencela bahwa kelompok aksi tidak menjaga tertib barisan mereka sehingga ada yang menyusupi. Ini sama konyolnya dengan kenyataan, bukankah ada abdi negara yang sudah dididik disiplin dengan segala rupa doktrin, masih saja terdapat oknum yang melakukan tindakan kriminal? Anda tidak percaya, silahkan berselancar di dunia maya.

Kemarahan massal dalam protes sosial bisa terjadi di manapun, kapanpun dan oleh siapapun. Di negara yang paling tua menganut demokrasi toh juga sama. Mau ini tidak muncul? Cukup jadikan Indonesia seperti Korea Utara. Tapi saya tentu tidak mau. Tidak juga ingin kekerasan ala 98 muncul dan merembet ke dalam konflik horizontal.

Kematangan dalam demokrasi terjadi manakala pilar-pilar penyangganya bekerja baik. Saluran komunikasi rakyat tidak berasas beli-putus hanya dalam pemilu. Rakyat perlu didengar.

Dan, kembali ke unjuk rasa beberapa hari lalu, mengapa pemerintah tidak fokus terhadap masalah yang menjadikan mereka sampai bertindak destruktif. Komunikasi politik yang tersumbat akan menghasilkan letupan-letupan yang suatu saat dapat berubah menjadi ledakan. Taktik berupa kekerasan verbal dengan menggelar tuduhan berlabel “HTI” dan atau “Anarko” terhadap mereka yang kritis lama-lama makin memuakkan. Bukan?

Kampung Mede, 10 Oktober 2020

0 Komentar