Ibadah Transaksional Menggadaikan Keshalehan


pmiikutim.or.id,
-Disuatu sore pada Sabtu, 05 September 2020 sekelompok aktivis PMII Kutai Timur saling mengutarakan pandangannya.
  Awal berkumpulnya mereka ditujukan untuk membahas sebuah buku atau ngaji buku, berjudul “ Islam Bukan Agama Candu” karya Eko P Darmawan.  Lebih jauh diskusi mereka mempersoalkan  Islam yang semakin sering ditampilkan dengan wajah yang puritan, kaku, dan formal .

Pembahasan diawali oleh Andre, Ketua I Bidang Kaderisasi PMII Kutim dengan mengangkat fenomena penilaian sebagian muslim tentang keshalehan. Dalam pengamatannya, banyak orang menanggap tingkat keshalehan umat muslim hanya dinilai dari cara berpakaian, cara berjilbab, menggunakan peci, dan atribut Islam lainnya. Menurutnya ukuran dari keshalehan seseorang tidaklah dinilai dari atribut, melainkan dari sifat, cara bersikap, memperlakukan sesama, serta niat dari individu masing–masing.

Lebih jauh Mungawanah menekankan bahwa ukuran keshalehan adalah keikhlasan. Ia menuturkan “jika ukuran keshalehan manusia itu dinilai dari kesuksesan dan kegagalan dalam mencapai suatu hal, maka iblislah yang paling sukses dalam hal ini, karena ia mampu menaklukan adam dan hawa serta menjerat para pengikutnya hingga akhir zaman. Poin yang diambil adalah bahwa beribadah kepada Allah haruslah ikhlas, tidak mengharapkan imbalan apapun.” Ia menegaskan bahwa tidak ada ukuran karena kaya lalu banyak bersedekah itu jauh lebih baik dari pada sedekahnya orang yang miskin. Seharusnya beribadah juga bukan karena ingin mendapatkan surga atau takut karena neraka, tapi fokus kepada Sang Mahapencipta.

 “Keshalehan seseorang bukanlah untuk dipamer-pamerkan, Cukup untuk terus dievaluasi, apakah benar kita beribadah karena Allah semata atau karena rewardnya.”, tegas Sang Ketua I Bidang Kaderisasi Kopri.

Dari serial pengatar buku yang dibahas, mereka tersadarkan akan fenomena beragama yang ganjil. Misalnya soal muslim yang naik haji dengan cara–cara zalim. Ya, ada sebagian orang yang rela mati-matian menunaikan ibadah haji dengan menghalalkan berbagai cara, semisal menebang pohon sembarangan atau secara liar  yang kemudian hasil dari transaksi tersebut sebagai ongkos berangkat ke Mekkah.  

Pada dasarnya semua menyadari bahwa menunaikan rukun Islam yang kelima ini, adalah suatu kesempatan mulia. Namun bagaimana jika ibadah ini hanya dijadikan wujud eksistensi?  Hanya ingin terlihat mampu  dihadapan tetangga dan mengabaikan cara-cara beradab dalam mencapainya. Cara-cara yang tidak dibenarkan agama.

Sealin itu banyak dari muslim itu yang lupa atau enggan bertanya, apakah Ia sudah menjalankan  urutan rukun Islam dengan baik? Apakah hubungannya dengan tetangga harmonis? Bagaimana perlakuannya atas anak–anak yatim dan kaum miskin yang kelaparan di sekitarnya? Berbagai pertanyaan diatas menjadi cambuk untuk sekelompok aktivis PMII tersebut.

Diskusi semakin dinamis ketika Alfina dan Ratna, menyoroti maraknya kemaksiatan ditengah tren masyarakat yang semakin agamis. Ia melihat bahwa meski semakin banyak tempat  ibadah namun semakin banyak juga kemaksiatan. Masjid seakan kehilangan magis spiritualnya dan cenderung tampil sebagai bangungan matrealistik yang pamer kemewahan.

Fenomena ini juga pernah disorot oleh budayawan masa kini, Emha Ainun Nadjib, yang mengatakan “dizaman ini ada seribu masjid dan hanya satu jumlahnya”.  Ia mencoba memberikan peringatan bahwa era peradaban yang katanya semakin maju malah justru menepis aktivitas beribadah dan menurunnya kualitas ke Islaman. 

Diakhir diskusi, Andi Arba Octavia, Tuan Rumah lokasi diskusi, melihat bahwa kualitas ke Islaman yang menurun bisa saja diakibatkan oleh praktek ibadah yang transaksional. “Banyak orang yang belajar agama bukan karena nilai Islam yang perlu didakwahkan dan dipahami secara benar, tetapi agama dijadikan jalan menuju nafsu. Seperti jika membaca Al-quran karena ingin mudah mendapatkan rezeki, mendapatkan jodoh, dan berbagai hajat lainnya. Tujuan seperti itu mungkin tidak sepenuhnya salah, namun perlu bermuhasabah, jangan sampai tujuan itu menggadaikan keikhlasan beribadah pada Allah”.

 Penulis: Mungawanah.

0 Komentar