Pembahasan diawali oleh Andre, Ketua I Bidang Kaderisasi
PMII Kutim dengan mengangkat fenomena penilaian sebagian muslim tentang
keshalehan. Dalam pengamatannya, banyak orang menanggap tingkat keshalehan umat
muslim hanya dinilai dari cara berpakaian, cara berjilbab, menggunakan peci,
dan atribut Islam lainnya. Menurutnya ukuran dari keshalehan seseorang tidaklah
dinilai dari atribut, melainkan dari sifat, cara bersikap, memperlakukan sesama,
serta niat dari individu masing–masing.
Lebih jauh Mungawanah menekankan bahwa ukuran
keshalehan adalah keikhlasan. Ia menuturkan “jika ukuran keshalehan manusia
itu dinilai dari kesuksesan dan kegagalan dalam mencapai suatu hal, maka
iblislah yang paling sukses dalam hal ini, karena ia mampu menaklukan adam dan
hawa serta menjerat para pengikutnya hingga akhir zaman. Poin yang
diambil adalah bahwa beribadah kepada Allah haruslah ikhlas, tidak mengharapkan
imbalan apapun.” Ia menegaskan bahwa tidak ada ukuran karena kaya lalu
banyak bersedekah itu jauh lebih baik dari pada sedekahnya orang yang miskin. Seharusnya
beribadah juga bukan karena ingin mendapatkan surga atau takut karena neraka,
tapi fokus kepada Sang Mahapencipta.
“Keshalehan
seseorang bukanlah untuk dipamer-pamerkan, Cukup untuk terus dievaluasi, apakah
benar kita beribadah karena Allah semata atau karena rewardnya.”,
tegas Sang Ketua I Bidang Kaderisasi Kopri.
Dari serial pengatar buku yang dibahas, mereka
tersadarkan akan fenomena beragama yang ganjil. Misalnya soal muslim yang naik
haji dengan cara–cara zalim. Ya, ada sebagian orang yang rela mati-matian
menunaikan ibadah haji dengan menghalalkan berbagai cara, semisal menebang
pohon sembarangan atau secara liar yang
kemudian hasil dari transaksi tersebut sebagai ongkos berangkat ke Mekkah.
Pada dasarnya semua menyadari bahwa menunaikan rukun Islam
yang kelima ini, adalah suatu kesempatan mulia. Namun bagaimana jika ibadah ini
hanya dijadikan wujud eksistensi? Hanya
ingin terlihat mampu dihadapan tetangga
dan mengabaikan cara-cara beradab dalam mencapainya. Cara-cara yang tidak
dibenarkan agama.
Sealin itu banyak dari muslim itu yang lupa atau
enggan bertanya, apakah Ia sudah menjalankan urutan rukun Islam dengan baik? Apakah
hubungannya dengan tetangga harmonis? Bagaimana perlakuannya atas anak–anak
yatim dan kaum miskin yang kelaparan di sekitarnya? Berbagai pertanyaan diatas
menjadi cambuk untuk sekelompok aktivis PMII tersebut.
Diskusi semakin dinamis ketika Alfina dan Ratna,
menyoroti maraknya kemaksiatan ditengah tren masyarakat yang semakin agamis. Ia
melihat bahwa meski semakin banyak tempat
ibadah namun semakin banyak juga kemaksiatan. Masjid seakan kehilangan
magis spiritualnya dan cenderung tampil sebagai bangungan matrealistik yang
pamer kemewahan.
Fenomena ini juga pernah disorot oleh budayawan masa
kini, Emha Ainun Nadjib, yang mengatakan “dizaman ini ada seribu masjid dan hanya
satu jumlahnya”. Ia mencoba memberikan
peringatan bahwa era peradaban yang katanya semakin maju malah justru menepis
aktivitas beribadah dan menurunnya kualitas ke Islaman.
Diakhir diskusi, Andi Arba Octavia, Tuan Rumah lokasi
diskusi, melihat bahwa kualitas ke Islaman yang menurun bisa saja diakibatkan
oleh praktek ibadah yang transaksional. “Banyak orang yang belajar agama
bukan karena nilai Islam yang perlu didakwahkan dan dipahami secara benar, tetapi
agama dijadikan jalan menuju nafsu. Seperti jika membaca Al-quran karena ingin mudah
mendapatkan rezeki, mendapatkan jodoh, dan berbagai hajat lainnya. Tujuan
seperti itu mungkin tidak sepenuhnya salah, namun perlu bermuhasabah, jangan
sampai tujuan itu menggadaikan keikhlasan beribadah pada Allah”.
0 Komentar