Dedemit Itu Bernama PKI


Oleh: Khoerul Annam
(Kader PMII Kutim Rayon PAI)


Akhir-akhir ini, mulai marak isu kebangkitan PKI yang berhaluan ideologi komunisme. Broadcast message dan tagar-tagar mulai lalu lalang dibeberapa platform sosmed seperti whatsapp dan twitter. Pesan berantai tersebut tidak sedikit yang berisi konten-konten yang dibumbui dengan ujaran kebencian dan curiga kepada pihak tertentu.

Perdebatan soal kebangkitan PKI didunia maya ini juga terkonfirmasi lewat analisis Drone Emprit, Ismail Fahmi sebagaimana dimuat CNN. Ia mencatat percakapan soal PKI sudah mulai ramai dibicarakan dengan total 32 ribu cuitan sejak 22 hingga 25 Mei. Bukan jumlah yang sedikit melihat intensnya bahasan PKI dijagad dunia maya bahkan bisa lebih meningkat lagi hingga hari ini. Itu sangat cukup signifikan untuk mulai mempengaruhi opini publik didalamnya.

Isu itu dicuitkan oleh beberapa tokoh yang punya power dalam menggiring opini publik. Dan mereka itu-itu saja. Paling-paling, provokatornya adalah Haikal Hasan, Wasekjen MUI Tengku Zulkarnain dan politikus Gerindra Fadli Zon. Dan sebagai conternya mereka yang selama ini menjadi pembela (kalau tidak mau disebut pemuja) Jokowi, semacam @_digeeembok, @eko_kuntadhi, dan @ferdinandHaean2, dll.

Ada beberapa top narasi yang menjadi pemicu meningkatnya isu PKI yaitu karena adanya kabar bahwa 23 Mei 2020 adalah 100 tahun hari jadi PKI, dan peringatan akan ada rapat akbar anak PKI di Menteng Jakarta untuk membahas HUT PKI. Cukup menggelitik dan membuat saya terhibur. Secara logika sederhana saja, isu ini seakan-akan mengabarkan bahwa PKI sudah bebas mengadakan tumpengan dan selamatan sana sini bahkan sampai mengumumkan kepada publik. Padahal pada kenyataannya, secara ideologi dan struktural partai saja PKI sudah lama dibubarkan dan “haram” ada di Indonesia. Lantas dari mana isu “halu” ini berasal.

Tak hanya dijagad dunia maya saja, didunia nyata ceramah-ceramah agama dan konten-konten dakwah yang memuat isu kebangkitan PKI juga terus mencuat. Semisal beberapa waktu lalu, saya mengikuti sholat jum’at di masjid lingkungan saya. Sang khotib menyampaikan khotbah yang berisi isu-isu kebangkitan komunis dan dengan jelas menyebut bahwa sistem yang berjalan dinegara kita adalah kapitalisme sekulerisme. Sang khotib menyebut bahwa hukum dinegara ini bertolak belakang dengan hukum Allah SWT. Poin akhirnya, sang khotib mengajak kepada jama’ah yang hadir untuk kembali kepada sistem pemerintahan (yang “katanya” sesuai dengan yang diajarkan Nabi yakni) daulah Islamiyyah.

Sayangnya sang khotib tidak menyebutkan secara spesifik dan faktual siapa yang dia maksud sebagai komunis, sehingga kabar kebangkitan PKI tidak bisa dipertanggung jawabkan. Ia hanya berasumsi atas isu yang dibuat-buat atau barangkali ada kepentingan dibalik tindakannya. Sang khotib tidak tahu (tepatnya tidak jujur) bahwa taring PKI sudah lama dipatahkan dengan Kepres Nomor 1/3/1966. Secara resmi, PKI dilarang ada di Indonesia. Itulah mengapa Sejarawan LIPI, Asvi Marwan Adam, menyebut isu kebangkitan PKI “Khayalan”. Bahkan mantan Ketum Muhammadiyah Syafii Maarif menyebut komunisme ibarat ‘macan ompong’ dan tak layak diangkat sebagai isu. Artinya bahwa isu komunisme yang diangkat sarat dengan kepentingan politik dan mengada-ada.

Anehnya lagi, topik Daulah Islamiyah yang disampaikan justru mengingatkan saya kepada organisasi terlarang HTI yang sudah dibubarkan 2017 silam. HTI getol menyampaikan tujuan mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dengan jargon khilafah. Menganggap sistem pemerintahan di negeri ini Thogut dan tidak sesuai dengan yang diajarkan nabi SAW. Ini semakin meyakinkan bahwa isu PKI dijadikan dalih “sesuatu”, dimana HTI pun menjadi bagian dari aktor isu ini.

Isu PKI ini diharapkan menjadi ‘alat’ pemicu kepanikan masyarakat. Dengan kepanikan, masyarakat lebih mudah terprovokasi yang berujung pada konflik horizontal dimasyarakat. Dalam kondisi seperti itulah penjual khilafah muncul dengan gimik sebagai pahlawan, meyakinkan masyarakat bahwa mereka punya solusi jitu. Mereka penebar racunnya dan mereka pula yang akan bertindak sebagai dokter. Meskipun obat yang mereka tawarkan hanyalah “produk kadaluarsa” yang sudah dilarang edar.

Dilain sisi, isu ini juga sangat ideal sebagai senjata pengalihan perhatian publik terhadap kinerja buruk penyelenggara negara. Sebut saja pembahasan UU Omnibus law oleh DPR yang terus berlanjut, dimana isinya diskriminatif terhadap buruh, dan kegagalan penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Belum lagi pemulihan sektor sosial ekonomi masyarakat kecil, yang sampai saat ini masih jauh panggang dari api.

Maka dari itu perlu untuk bangsa ini melepaskan diri dari jeratan mis-informasi. Isu kebangkitan PKI yang disebarkan secara massif hanyalah kabar musiman. Bukan sesuatu yang nyata, tidak ada data valid yang membuktikan keabsahannya. Tak pernah nampak secara langsung bahwa PKI kembali bangkit. Tidaklah berlebihan bila disebut Isu PKI adalah sosok bergentayangan, menebar ketakutan layaknya Dedemit.

1 Komentar