Oleh: Zulkadrin
(Eks Sekretaris Umum PMII Kutim 2018)
Menjelang 15 tahun pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, semangat mengisi kemerdekaan terus
menggelora diseluruh elemen bangsa tak terkecuali mahasiswa. Di dalam tubuh
Jam’iyah NU semangat kemahasiswaan yang
sebelumnya berwadah di Departemen Perguruan Tinggi IPNU, tidak mampu lagi menampung
idealisme kemahasiswaan yang bercorak independen, kritis, empiris, dan agitatif. Kondisi
tersebut mendorong mahasiswa NU akhirnya mendirikan wadah terpisah bernama
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 17 April 1960.
Kualitas
intelektual Mahbub Djunaidi lewat goresan pena dan ketokohan Zamroni dalam
menggerakkan Massa Angkatan 66 menjadikan PMII sebagai organisasi yang
diperhitungkan dalam kurun waktu yang singkat sejak kelahiran. Sampai saat ini
PMII telah tersebar lebih dari 250 cabang di Kabupaten/Kota dan ribuan kampus
di seluruh Indonesia.
Dalam
prespektif politik kekuasaan, kekuatan
tersebut membuat PMII dianggap sebagai
organisasi yang memiliki prospek menggiurkan baik secara kualitas maupun
kuantitasnya. Toh 90 juta jamaah NU dapat dipastikan memiliki kecenderungan yang
tinggi terhadap PMII. Maka tidaklah mengherankan jika partai-partai politik
berebut kader dari organisasi kemahasiswaan seperti PMII. Dianggapnya, dengan
menggandeng PMII dalam politik kekuasaan, bukan hanya berhasil menanamkan
investasi politik masa depan tapi juga mampu menahan laju idealisme mahasiswa
yang membahayakan kekuasaan.
Diusianya
yang ke-60 tahun ini, nampaknya bayang kekuasaan terhadap PMII semakin kuat dan
deras. Keberhasilan banyak alumnus PMII menembus kursi dewan baik didaerah
maupun dipusat, menduduki pos kementrian dan lembaga negara adalah fakta bahwa
jarak antara kekuasaan dengan PMII sesungguhnya semakin menipis. Bahkah yang
teranyar, eks Ketua Umum PB PMII yang berhasil menduduki pos staf khusus
milenial Presiden cukup mengagetkan, mengingat diantara tujuh orang staf khusus
milenial tersebut hanya PMII yang berasal dari organisasi kemahasiswaan,
sisanya adalah pengembang retail bisnis online dan lulusan luar negri.
Keberhasilan
PMII diatas sesungguhnya patut disyukuri oleh keluarga besar PMII, setidaknya
negara telah memberikan pengakuan terhadap proses kaderisasi pada organisasi
ini. Namun yang perlu diingat kader saat ini, keberhasilan tersebut juga
memiliki pertaruhan sendiri. Ditengah
para penguasa yang dominan gemar
menghidupkan budaya politik elektoral
dan pragmatis saat ini, bukan tidak mungkin juga tertularkan dalam tubuh
PMII. Kondisi yang akhirnya bisa membuat karakter independen, kritis, berpihak
kepada kaum marjinal dan tertidas ikut tergadaikan bahkan dijual obral. Saya
pikir kader PMII perlu untuk mengingat pesan Mao Zedong berikut, “Politik adalah perang tanpa darah, sedangkan
perang adalah politik dengan pertumpahan darah”.
Bukankah
belakangan suara-suara kritis dari PMII mulai menghilang?Berapa banyak kasus
yang luput dari perhatian PMII akhir-akhir ini. Sebut saja kasus yang
melibatkan BUMN seperti gagal bayar Jiwasraya dan kelakuan memalukan
direksi Garuda Indonesia, kenaikan 100 persen iuran BPJS, Revisi UU
KPK, percepatan pembahasan Omnibus Law, dan yang terbaru kegagapan negara melawan pandemi Corona adalah sederet
isu dimana suara kritis PMII begitu dirindukan. Apakah ini pertanda bahwa PMII
telah terbuai oleh politik kekuasaan yang menggiurkan? Semoga tidak. Perlu
diakui masih banyak kader PMII didaerah yang terus berjuang bersama masyarakat
dan membantu kaum papah. Saya memberi hormat yang setinggi-tingginya bagi
mereka.
Saya
mengakui bahwa politik tidaklah sepenuhnya berisi hal-hal hina dan kebiadaban.
Seorang Gus Dur pun pernah berkata bahwa politik adalah pekerjaan yang sangat
mulia karena memperjuangkan nasib orang banyak. Namun juga terdapat pesan lain
yang ditujukan Gus Dur bagi PMII berikut “Para
aktivis PMII jangan takut jadi intelektual penganngguran. Banyak yang mesti
dikerjakan di NU. Dan lapangan itu seluas, selebar kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia”. Pesan tersebut menyiratkan bahwa menjadi bagian politik
kekuasaan, bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan PMII, tetapi banyak
medan pengabdian lain yang tidak kalah pentingnya diisi oleh kader PMII.
Oleh
karenanya pada 17 April 2020 ini, selain ingin mengucapkan selamat hari lahir
ke-60, saya juga berpesan kepada kader PMII di sentrao negri untuk terus
merawat independensi, menghidupkan nalar kritis, membersamai kaum tertindas,
dan tanpa lelah memanjatkan do’a semoga kekuasaan tidak lagi membayangi PMII,
tapi PMII dengan nilai ke-Islaman dan ke Indonesiaannya lah yang terus
membayangi kekuasaan. Karena yang lebih penting dari politik adalah
kemanusiaan. Wallahua’lam.
0 Komentar