Matinya Rasa Kemanusiaan Ditengah Pandemi



Oleh: Khoerul Annam
(Kader PMII Rayon PAI Al-Asy'ari)


Virus Corona atau Covid-19 telah memuncaki tranding topik dunia hampir 4 bulan terakhir. Keberaadaan virus ini telah terkonfirmasi hingga ke 200 negara diseluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia, negara dengan penduduk hampir 270 juta jiwa menjadi ladang subur. merebahnya wabah ini. Sampai saat ini tercatat setidaknya 5.136 kasus positif covid-19 di Indonesia dengan 461 kasus kematian.

Penyebaran Covid-19 yang begitu massif di Indonesia memang tidak lepas dari lalainya aktor negara ketika awal kemunculan virus ini di Wuhan. Nada meremehkan dengan menyebut “Indonesia Kebal Virus” oleh Mentri Kesehatan secara tidak langsung mendorong masyarakat awam untuk bersikap “bodoh amat” yang akhirnya memicu tinnginya jumlah kasus virus ini.

Namun terlepas dari miss action negara tersebut, saat ini ada hal lain yang patut menjadi perhatian, yakni terkikisnya rasa kemanusiaan ditengah pandemi ini. Sebut saja kasus ditolaknya PDP dan ODP oleh warga di Yogyakarta. Kondisi yang akhirnya memaksa pemerintah setempat harus menyediakan tempat tinggal khusus bagi mereka yang sesungguhnya belum tentu positif Corona.

Belum lagi kita disuguhkan kabar diusirnya Tim Medis RSUP Persahabatan Jakarta Timur oleh tetangga kosnya karena takut menularkan virus. Tim medis yang menjadi benteng terakhir perlawan virus ini, harus rela tidak bisa pulang kerumah dan memilih menginap di Rumah Sakit. Virus yang seharusnya dihadapi dengan penuh kesadaran dan tindakan pencegahan bertransformasi menjadi pengucilan dan pengasingan.

Tidak berhenti disitu, belakangan muncul aksi-aksi penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19 diberbagai daerah. Penolakan pemakaman jenazah perawat korban Covid-19 oleh warga kelurahan Bandarjo, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang menambah catatan terkikisnya rasa kemanusiaan dimasyarakat kita, hal serupa juga terjadi di Rawamangun dan Solo Baru. Sungguh menyayat hati jenazah orang yang telah berjasa melawan virus ini, bukannya dikuburkan dengan layak dan dan penuh penghormatan justru mendapatkan penolakan.

Dari beberapa peristiwa diatas kita memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat, karena hal tersebut terjadi akibat kekhawatiran dan ketakutan dimasyarakat. Namun apabila yang demikian terus dibiarkan, maka sesungguhnya kita beranjak dari nilai-nilai luhur yang selama ini mereka anut. Berbudi luhur, gotong royong, welas asih, penuh empati,rela berkorban, adalah sekelumit nilai yang akhirnya akan menjadi jargon semata. Corona akhirnya bukan hanya memberi dampak negative terhadap kesehatan dan ekonomi saja, namun bisa menjadi penyakit sosial tersendiri yang justru lebih berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka dari itu perlu bagi kita untuk mengambil peran. Berperan dengan segala yang kita punya, baik berupa materil yang bisa didonasikan ataupun berupa non-materil semisal mengedukasi masyarakat agar bijak hidup ditengah pandemi. Yang saya yakini, dalam penyakit yang paling mematikanpun, manusia tetap bisa bertahan, dengan syarat kita terus saling bahu-membahu dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

“Mari kita wujudkan peradaban dimana manusia saling mencintai, saling mengerti dan saling menghidupi”, Pesan Gus Dur di jauh-jauh hari. Saatnya manusia berbagi cinta dan tanpa lelah memanjatkan do’a. Salam Pergerakan!

3 Komentar